Lelaki senja itu hanya terdiam
melihat anak perempuannya mempermasalahkan kehadiran lampu hias di ruang tamu.
Barangkali Ia menyadari sang anak baru saja beranjak dewasa dan masih unyu dalam mengkaji Islam, sehingga
berlebihan dalam menyikapi hidup. Dan kali ini yang dipersoalkan adalah ‘hidup
sederhana’, anaknya menuduh pembelian lampu itu hanya bentuk pemborosan...ehm,
bahkan sebenarnya inti yang dipersoalkan anaknya adalah status PNS yang disandang sang ayah
sebagai pekerjaan ‘abu-abu’ yang dekat dengan uang haram.
Seiring berjalannya waktu,
bertambah pula pemahaman sang anak bahwa PNS bukanlah status yang terlarang
dalam Islam, menjadi PNS bukanlah jarimah, namun hanyalah sebuah jalan menggapai rizki. Yah...meskipun ada oknum-oknum yang berbuat KKN namun tak adil jika digeneralisir.
Dia berusaha mengulas kembali perjalanan hidup ayahanda tercinta
sebagai seorang PNS. Sang ayah adalah pekerja yang jujur dan berdedikasi tinggi.
Sebagai atasan beliau disukai karena sikap tak berjarak-nya, sebagai bawahan
Beliau disayangi karena kinerjanya.
Namun begitulah, tak selamanya
orang baik disenangi. Pernah Beliau difitnah teman dekatnya, hingga akhirnya
dimutasi ke tempat lain dan tidak digaji selama beberapa bulan. Bagaimana
dengan anak-istrinya? Mereka makan dari uang tabungan dan hasil penjualan mobil
pribadi. Dan Alhamdulillah, setelah bertahun-tahun Allah membuka mata semuanya
tentang siapa pelaku kejahatan yang sebenarnya dan nama baik sang ayah
dipulihkan. Tentang gaji yang tak dibayarkan? Entahlah...sang anak tak pernah
bertanya masalah itu pada Ibunya, toh Allah tetap memberi kecukupan rizki
selama masa fitnah itu.
Di akhir karirnya sang ayah
dipindah ke ibukota sebagai kepala seksi (alias kepala bagian). Di tempat ini
ujian dan godaan banyak bersliweran menyapa
Sang Ayah dan Ibu. Mulai dari rumah yang awalnya masih mengontrak karena Beliau
menyadari keberadaan di ibukota hanya sementara, toh Beliau sudah punya rumah
di kampung halaman. Mobil pribadi yang tak semewah mobil karyawannya (asal tahu
aja, mobil Sang Ayah hanya carry super
sementara karyawannya punya mobil sedan sport mewah). Lalu teman sejawat Sang
Ayah banyak yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri sementara anak-anak
beliau ‘hanya’ kuliah di dalam negeri.
Belum lagi penampilan Ibu yang
sederhana karena tak hobi ‘nyalon’ sehingga seorang kurir pernah menyangka
Beliau adalah PRT (duh...). Tapi Ibu tetap pede, ikut pertemuan dharma wanita
meski tak menenteng tas bermerk dan perhiasan mewah.
Ujian bagi keduanya juga datang
tatkala anak lelakinya lulus kuliah. Di saat suatu ‘kewajaran’ jika Sang Ayah
yang punya kedudukan menitipkan anaknya di kantor atau perusahaan relasi,
Beliau tak sedikitpun melakukannya. Beliau mempersilahkan anak-anaknya mencari
jalan rizkinya sendiri dengan jujur dan halal.
Ketika untuk ketiga kalinya Sang
Ayah dan Ibu menunaikan ibadah haji. Pandangan miringpun ada yang menyapa. Tak
tahulah mereka, dana itu adalah hasil penjualan tanah warisan hak Ibu serta
tanah yang Beliau beli dari uang tabungan bertahun-tahun hasil keringat yang
jujur.
Di awal masa pensiun Sang Ayah, datanglah
tawaran untuk menjadi konsultan, namun Beliau menolak meski bayangan kucuran rupiah
menggiurkan. Karena Beliau tahu di situ ladang ‘permainan’ dan enggan
terjerumus.
Ah, Ayah... Air mata Sang Anak menetes
kembali. Mengingat dosa-dosa pada SAng Ayah, setumpuk su’udzon tanpa sedikitpun
sempat meminta maaf sebelum ajal menjemput lelaki senja itu. Dia berharap do’a-do’anya mampu
melebur rasa bersalah. Allahumaghfirlahu
warhamhu wa afihi wa’fu ‘anhu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar