Senin, 29 Februari 2016

Ahmadiyah, Cerita Usang Yang Berulang


(Kasus Pengusiran Jemaah Ahmadiyah di Bangka)
Ilustrasi by liputan6

Oleh : Maya Ummu Azka

Setelah beberapa tahun berselang, geger berita seputar Jemaah Ahmadiyah muncul kembali. Pemberitaan itu mencuat ke permukaan setelah ada isu pengusiran melalui surat oleh Bupati Bangka, Tarmizi Saat. Surat bertanggal 5 Januari itu ditandatangani Fery Insani, Sekretaris Daerah Bangka, berisi pernyataan bahwa Jemaah Ahmadiyah Indonesia harus keluar dari lingkungan Srimenanti Sungailiat atau bertobat (http://m.cnnindonesia.com/nasional/20160206185321-20-109337/bupati-bangka-kami-tidak-pernah-usir-jemaat-ahmadiyah/).

Keputusan Bupati Bangka diawali dengan keresahan warga sekitar dengan adanya aktivitas jemaah Ahmadiyah. Warga merasa telah habis kesabaran setelah selama enam tahun jemaah tersebut masih tetap beraktivitas meski ditolak warga. http://bangka.tribunnews.com/2016/01/27/bupati-bangka-usir-warga-ahmadiyah-mendagri-ancam-usir-bupati?page=2. Sebenarnya penolakan warga cukup beralasan mengingat jemaah ini telah divonis sesat oleh MUI, sebagaimana ditegaskan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005 M./19-22 Jumadil Akhir 1426 H, fatwa dan keputusan MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam).(http://mui.or.id/produk-mui/fatwa-mui/fatwa-komisi-fatwa-mui/penjelasan-tentang-fatwa-aliran-ahmadiyah.html).

Keberadaan Jemaah Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya selalu meresahkan masyarakat, namun mengapa hingga kini mereka tetap eksis?

Pemerintah Tak Tegas

Jika kita cermati, sikap pemerintah terhadap keberadaan aliran-aliran sesat sungguh mengecewakan , apalagi jika berhadapan dengan semacam Ahmadiyah yang sifatnya internasional. Meski MUI sendiri sudah memfatwakan sesat untuk Ahmadiyah, namun pemerintah sendiri selaku yang punya kewenangan mengeksekusi tidak berbuat tegas.

Pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menjaga akidah ummat, itulah sebabnya permasalahan ini selalu berulang seakan tak ada habisnya. Hal itu didasari asas sekulerisme yang menjadi panduan bernegara. Urusan agama tidak boleh dibawa ke ranah negara, karena dianggap sebagai urusan pribadi. Kalaupun dalam beberapa hal negara turut campur, itu demi ketertiban masyarakat dan menjaga stabilitas negara semata, bukan didasari kewajiban menjaga akidah ummat.

Keberadaan kaum liberal semakin menumpulkan peran pemerintah. Lihat saja dalam kasus di Bangka ini, bagaimana kentalnya campur tangan media liberal dalam memanaskan situasi dan memojokkan Bupati Bangka yang telah berusaha menjalankan tugasnya. Diperkeruh dengan provokasi YLBHI yang mendesak presiden menindakgas sang bupati (http://m.cnnindonesia.com/nasional/20160206225300-12-109353/komisi-iii-dpr-pengusiran-warga-ahmadiyah-tindakan-kriminal).

Ambiguitas demokrasi juga tampak jelas dalam kasus ini. Bagaimana ketenangan warga dan hak mereka untuk mendapatkan penjagaan akidah dikalahkan oleh kepentingan segelintir jemaah. Demokrasi dengan jargon HAM-nya terbukti tak berlaku jika berbicara kepentingan ummat Islam.

Khilafah, Tak Ragu Lagi

Permasalahan yang selalu berulang dan mencederai akidah ummat ini membutuhkan solusi yang sistemik. Pemerintah sebagai perisai ummat berkewajiban menjaga akidah serta melindungi ummat dari segala rongrongan. Oleh karena itu pemerintah harus mencampakkan sistem kapitalisme yang berazaskan sekulerisme sebagai pangkal tergerusnya akidah. Di samping itu untuk mencegah campurtangan pihak lain (LSM, organisasi swasta ataupun asing) negara haruslah mandiri, tak bergantung pada negara lain ataupun lembaga internasional yang terbukti hanya menjadi perpanjangan tangan negara asing.

Sehingga tak diragukan lagi, hanya Negara Khilafah yang bersandar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mampu melakukan itu semua. Khilafah adalah negara mandiri yang membangun negaranya dengan kekuatan sendiri. Tidak ada satupun organisasi atau lembaga yang menyimpang dari akidah Islam boleh tumbuh di dalam wilayahnya. Segala bentuk penyimpangan akan segera ditangani agar tidak menjadi wabah yang menjalar ke mana-mana.

Khilafah akan bertindak tegas kepada setiap individu yang menyimpang dari akidah Islam (murtad). Dalam Rancangan UUD (Masyrû’ ad-Dustûr) Negara Islam pasal 7, ayat 3 yang berbunyi: “Orang-orang yang murtad dari Islam, atas mereka dijatuhkan hukum murtad jika mereka sendiri yang melakukan kemurtadan. Jika kedudukannya sebagai anak-anak orang murtad atau dilahirkan sebagai non-Muslim, maka mereka diperlakukan bukan sebagai orang Islam sesuai dengan kondisi mereka selaku orang-orang musyrik atau ahli kitab.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 28).

Dalam Syari'at Islam sendiri telah ditegaskan bahwa hukuman bagi orang murtad adalah dibunuh.

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ بَدََّلَ دِيْنَهُ فَآقْتُلُوهُ

"Siapa saja yang mengganti agamanya, bunuhlah!" (HR al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Namun demikian seseorang tidak langsung dibunuh begitu ia murtad. Ada proses yang harus dijalani, yaitu ditahan (dipenjara), dan diminta untuk bertobat. Jika tidak bertobat maka barulah ia dibunuh (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 33). Dengan demikian, tak akan ada lagi penyimpangan akidah yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Allahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar