Kamis, 23 Juni 2016

Mengokohkan Keluarga Dengan Al-Qur'an

Mengokohkan Keluarga Dengan Al-Qur'an

Ramadhan, bulan penuh maghfirah yang dinanti berjuta ummat muslim sedunia telah datang. Inilah bulan mulia, di saat Allah menurunkan kitab suci Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia. Dengan Al-Qur'an hidup manusia menjadi mulia, karena kitab suci itu berisi petunjuk (QS. Al-Baqarah : 185) dari Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui.

Sebagai petunjuk dari Allah, Al-Qur'an juga telah mengisyaratkan tujuan berumahtangga, yaitu untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Sebagaimana dalam Surat Ar-Rum ayat 21, "Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”

Ya, hidup berkeluarga dalam suasana penuh ketenangan, itulah dambaan setiap insan. Namun apa yang kita rasakan saat ini? Berbagai ujian dan godaan datang silih-berganti di dalam kehidupan keluarga. Kondisi kehidupan yang semakin jauh dari Al-Qur'an membuat anggota keluarga mengalami disorientasi peran. Himpitan ekonomi kian berat, kerja keras para ayah seakan tak cukup memenuhi kebutuhan hidup yang biayanya semakin membumbung tinggi. Hal ini memaksa para ibu keluar rumah meninggalkan buah hati untuk membantu mencari nafkah.

Godaan arus budaya liberalisme yang sedemikian liar dan merusak mengepung anak-anak kita, memunculkan kekhawatiran dalam dada setiap orangtua. Pergaulan bebas, narkoba, pornografi-pornoaksi, diperparah dengan LGBT siap menghancurkan fisik dan moral generasi. Tak terkecuali di daerah kita ini, bahkan Kota Salatiga menjadi salah satu lokasi strategi bagi para bandar narkoba luar daerah guna mengedarkan barang haramnya, terutama jenis sabu-sabu (http://m.semarangpos.com/2016/04/11/narkoba-salatiga-polisi-ringkus-warga-solo-pemasok-sabu-di-salatiga-709320).

Kita pun selalu cemas dengan maraknya isu kejahatan terhadap anak. Terlebih aksi kejahatan seksual yang semakin brutal dengan korban dan pelaku yang masih belia ternyata juga terjadi tak jauh dari kita (http://regional.liputan6.com/read/2520044/kepedihan-bocah-sd-semarang-korban-kejahatan-seksual-21-pria).

Kembalikan Pada Al-Qur'an

Allah Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ١٣:٢٨

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati-hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah-lah, hati akan menjadi tenteram”. [ar Ra’d / 13 : 28].

Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan : “Maksudnya, hati akan menjadi baik dan menjadi senang ketika menuju ke sisi Allah. Hati menjadi tenang ketika mengingat Allah, dan hati merasa puas ketika merasa bahwa Allah adalah Pelindung dan Penolongnya”.

Sementara, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah, seorang ulama besar dunia yang hidup antara tahun 1307 H – 1376 H menjelaskan lebih rinci ayat di atas. Beliau mengatakan:

“Nyatalah, hanya dengan berdzikir mengingat Allah (hati menjadi tenteram), dan sewajarnyalah hati tidak akan tenteram terhadap sesuatupun kecuali dengan mengingat Allah. Sebab, sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang lebih lezat dan lebih manis bagi hati dibandingkan rasa cinta, kedekatan serta pengetahuan yang benar kepada Penciptanya. Sesuai dengan kadar pengetahuan serta kecintaan seseorang pada Penciptanya, maka sebesar itu pula kadar dzikir yang akan dilakukannya. Ini berdasarkan pendapat yang mengatakan, bahwa dzikir kepada Allah ialah dzikirnya seorang hamba ketika menyebut-nyebut Rabb-nya dengan bertasbih, ber-tahlil (membaca Laa ilaaha Illallaah), bertakbir dan dzikir-dzikir lainnya.

Namun ada yang berpendapat, yang dimaksudkan dengan dzikrullah (dzikir pada ayat di atas) ialah KitabNya (al Qur`an) yang diturunkan sebagai pengingat bagi kaum Mukminin. Berdasarkan pendapat ini, maka makna ‘hati menjadi tenteram dengan dzikrullah’ ialah, manakala hati memahami makna-makna al Qur`an serta hukum-hukumnya, hati akan menjadi tenteram. Sesungguhnya makna-makna serta hukum-hukum al Qur`an memberikan bukti tentang kebenaran yang nyata, didukung dengan dalil-dalil dan petunjuk-petunjuk yang jelas. Dengan cara demikianlah hati menjadi tenteram. Sesungguhnya hati tidak akan tenteram, kecuali ketika mendapatkan keyakinan dan ilmu. Itu semua hanya ada dalam Kitab Allah yang tertuang secara sempurna. Adapun kitab-kitab lain selain Kitab Allah yang tidak bisa dijadikan rujukan, maka tidak akan menjadikan hati tenteram. Bahkan kitab-kitab lain itu akan senantiasa menimbulkan kebingungan-kebingungan, karena dalil-dalil serta hukum-hukumnya saling bertentangan”.

Dari dua keterangan ulama besar di atas, ketenteraman hati yang hakiki hanya diperoleh ketika seseorang berdzikir kepada Allah secara benar dan memahami makna-makna serta hukum-hukum yang ada dalam al Qur`an secara benar pula. Itulah ketenteraman hati yang sesungguhnya.

(Sumber: https://almanhaj.or.id/2886-tenteram-indikasi-kebenaran.html).

Begitupun ketika kita menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup keluarga, maka hidup akan tentram. Keluarga tak akan mudah goyah jika pasangan suami istri mengembalikan niat berumahtangga hanya untuk ibadah kepada Allah. Bangunan keluarga juga akan kokoh jika masing-masing anggotanya memahami serta menjalankan peran dan fungsinya sesuai aturan Allah dalam Al-Qur'an.

Seorang ayah adalah nahkoda dalam biduk rumah tangga. Dialah yang betanggungjawab atas keselamatan dunia-akhirat istri dan anaknya, sebagaimana Firman Allah dalam QS. At-Tahrim ayat 6,

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Ayah juga berkewajiban mencari nafkah bagi keluarganya. Allah berfirman yang artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” QS. Al Baqarah: 233.

Sementara seorang ibu berperan sebagai istri bagi suaminya serta ummun wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Ia bertanggungjawab mengasuh dan mendidik anaknya, bahkan digelari sebagai pendidik pertama bagi anak (al ummu madrasatul ula).

Begitu besar peran seorang ibu dalam membentuk wajah generasi. Tak heran jika Islam memberi tempat istimewa baginya, bukankah Rasulullah bersabda bahwa surga ada di telapak kaki ibu? Mengingat beratnya tugas mengurus anak, agar para ibu fokus akan tugasnya, Islam pun tidak membebaninya kewajiban bekerja mencari nafkah.

Seorang anak berkewajiban untuk berbakti kepada kedua orangtuanya. Ia wajib taat selama orangtuanya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Bahkan Allah melarangnya berkata kasar kepada kedua orangtua.

Bisa kita bayangkan, seandainya semua anggota keluarga menjalankan peran dan fungsinya seperti tuntunan Al-Qur'an, maka kehidupan rumah tangga akan menjadi tentram. Bangunan keluarga pun semakin kokoh, tak mudah goyah karena terpaan godaan dan ujian.

Patut kita ingat pula pertanggungjawaban masing-masing peran di hadapan Allah. Dalam hadits riwayat Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhu:

"Dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya"

Keluarga di Masa Khilafah

Pada zaman Kekhilafahan - di mana Al-Qur'an diwujudkan dalam kehidupan -, telah terwujud harmonisnya pasangan suami istri dalam menciptakan rumah bak surga (baytii jannatii). Rumah menjadi madrosah pencetak generasi sholeh. Keluarga-keluarga yang tercipta di bawah naungan syariat ini, didukung oleh kuatnya kontrol masyarakat pada saat itu dalam penjagaan tatanan keluarga dan lingkungan agar sesuai dengan Islam. Negara pun memastikan agar roda kehidupan keluarga tidak hanya berjalan tapi juga berprestasi.

Di masa itu telah lahir para ulama dan para pemikir besar yang menjadi peletak pondasi peradaban dunia. Yang lahir dari seorang ibu dan ayah, dari keluarga yang sama-sama memiliki cita-cita memajukan agama dan umatnya. Kita mengenal Imam Bukhari, salah seorang dari ahli hadits terbesar sepanjang masa, terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’. Ia lahir dari seorang ayah (Ismail) yang menjadi ulama besar ahli hadits, berilmu dan wara’. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata : “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat”. Ibunya sangat tekun dan perhatian dalam mendidik beliau. Hingga, ibunya mengajak beliau dan kakak sulungnya, mengunjungi berbagai kota suci, untuk menemui para tokoh dan ulama, dalam rangka berguru ilmu hadits.

Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai panduan, negara akan membasmi setiap bentuk godaan pengganggu tatanan keluarga. Perekonomian keluarga akan baik-baik saja, karena tatanan ekonomi islam membuat negara Khilafah mampu menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para lelaki. Semua kebutuhan vital masyarakat terpenuhi, tak ada keluarga pra sejahtera. Dengan demikian, para ibu bisa mencurahkan segenap waktu dan perhatiannya untuk mengasuh dan mendidik anak.

Negara jugalah yang akan melindungi generasi dari serangan budaya liberal yang rusak, melarang produksi dan peredaran produk-produk pornoaksi dan pornografi serta segala hal yang merusak akal serta tubuh. Sistem pendidikan dalam Islam mampu membentuk generasi berkepribadian islam yang kuat fisik serta mentalnya. Dilengkapi dengan sistem pergaulan Islam telah mengatur hubungan laki-laki dan perempuan demi terjaganya kemuliaan manusia. Tak hanya itu, sistem sanksi dalam islam mampu menjaga masyarakat agar tidak melakukan kemaksiatan karena ketegasan dan keadilannya.

Yakinlah, kokohnya bangunan keluarga akan dapat kita rasakan jika kandungan Al-Qur'an diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Negara Khilafah lah pelaksananya. Itulah yang dirindukan serta harus kita perjuangkan bersama kehadirannya. Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar