Selasa, 01 November 2016

Senam Islam Nusantara dan Upaya Membumikan Islam di Nusantara

Senam islam nusantara (foto : bisnis.com)

Tanggal 25 Oktober yang lalu, dilakukan peluncuran SIN (Senam Islam Nusantara) oleh Menpora di Lapangan Panglima Besar Jendral Sudirman, Ambarawa, Kabupaten Semarang yang ditargetkan dihadiri oleh 20.000 peserta. Gerakan dan musik senam ini dirancang agar syar’i dan sesuai dengan gagasan global Islam Nusantara. "SIN ini diharapkan akan memperkaya khazanah budaya keislaman yang berbineka tunggal ika yang dapat dijadikan sebagai ikon nasional untuk peradaban Indonesia dan dunia," ujar Ketua Panitia Launching SIN Mohammad Amin Rifai (regional.kompas.com/read/2016/09/25/13044301/menpora.akan.luncurkan.senam.islam.nusantara.di.ambarawa). Jika sebelumnya terjadi keramaian bacaan Qur’an dengan langgam Jawa, atau adzan dengan langgam Jawa, kini gagasan Islam Nusantara diluncurkan dengan bentuk senamnya, demi membumikan Islam di Nusantara.

Atas spirit membumikan Islam di Nusantara pada sebagian umat ini patut diapresiasi. Bahwa masih banyak kalangan umat yang sangat peduli Islam diterapkan dalam kehidupan saat ini. Islam mengakar sebagaimana mengakar dan membuminya Islam di Nusantara pada masa Wali Songo abad lampau. Hanya saja, sebuah niat baik saja tidak cukup menjadi pengikat proses pembumian Islam di Nusantara ini. Perlu dikaji secara mendalam apakah sudah tepat pandangan yang melandasi gagasan Islam Nusantara berikut gerakan penyadarannya ini.

Masih segar di ingatan, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat-istiadat di Tanah Air. Menurut Said, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah. Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia (Republika.co.id, 10/03). SIN sendiri sejatinya merupakan salah satu upaya penyadaran masyarakat terhadap pemahaman Islam Nusantara ini sebagaimana cara-cara sebelumnya yang telah dilakukan. Apakah memang Islam menyandang ‘gelar’ (Nusantara, Timur Tengah, Asia dan seterusnya) di belakangnya?

Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia masa Rasulullah SAW hingga akhir zaman, tidak dikhususkan bagi bangsa tertentu atau tempat tertentu. Islam bukanlah budaya lokal arab, sehingga tidak bisa disejajarkan dengan budaya dan adat istiadat suatu wilayah. Saat suatu budaya dan adat suatu wilayah bertentangan dengan Islam, maka akan dihapus dan berganti dengan (syariah) Islam. Adapun budaya lokal yang tidak bertentangan dengan Islam (misal, memakai peci saat sholat) maka boleh jadi Islam mengakomodirnya, karena kebolehannya (mubah). Maka Islam hanyalah Islam, tidak ada lebelisasi.

Hal berikutnya, semangat membumikan Islam (tanpa embel-embel Nusantara) membutuhkan tekad yang bulat untuk: pertama, menghilangkan pandangan bahwa Islam bisa di produksi mengikuti jaman/ budaya dan kearifan lokal. Islam butuh dipahami secara menyeluruh minus hawa nafsu. Kedua, memiliki komitmen dan kesungguhan menerapkan Islam secara total dalam seluruh segi kehidupan. Baik hubungan dengan Allah (sholat, puasa, zakat, dll), hubungan dengan diri sendiri (akhlaq, makanan, pakaian) dan hubungan dengan sesama manusia (pendidikan, pergaulan, budaya, politik, bahkan pemerintahan). Islam itu sempurna dan mampu mengikuti jaman. Islam selalu up to date, bukan dien yang kuno. Penerapan total ini membutuhkan perubahan sistem. Ketiga, memahami bagaimana langkah Rasulullah SAW menuju penerapan Islam secara total. Merubah keadaan rusak masyarakat saat itu menuju keadaan yang memuliakan manusia. Rasulullah mendakwahkan Islam murni dari wahyu Allah SWT, menempuh jalan menyeru. Menyeru (dakwah) pemikiran Islam hingga masyarakat menerima dan berubah. Tanpa Islam Nusantara, Islam moderat dan embel-embel lainnya semestinya perubahan menuju totalitas penerapan Islam lebih cepat terjadinya. Insya Allah.

(Copas dari Ratih Respatiyani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar