Senin, 27 Mei 2013

RTJJ (Rumh Tangga Jarak Jauh)

RTJJ (rumah tangga jarak jauh)

oleh Maya Dewi (Catatan) pada 28 Mei 2013 pukul 0:17
Everybody needs a little time away...from each other
huummm...klo sesekali berjauhan, mungkin memang perlu, karena ga mungkin kan 'tenteng-tenteng' istri ma anak ke kantor? ato pas ada urusan bisnis?
tapi...kalo berjauhannya lebih sering daripada berdekatan? alias RTJJ, kumaha atuh nya'???

Saya pernah mengalami hal itu, saat hamil anak pertama. Seperti lazimnya kehamilan pertama, orangtua pasti amazing yaaa... segala rasa berkecamuk di dalam dada, termasuk kecemasan menghadapi proses persalinan serta kekhawatiran tidak mampu merawat si kecil yang baru lahir. Sehingga tak sedikit yang memilih melahirkan di rumah orangtuanya.

Saat usia kehamilan 6 bulan, saya pulang kampung. Saat itu ada acara keluarga. Melihat perut yang semakin membesar, walhasil orangtua membujuk saya untuk bersedia melahirkan di sana. Setelah berunding dengan suami, sayapun bersedia. Sehari, dua hari,...tak terasa beberapa minggu berpisah dengan suami tercinta. Segala rasa dipendam sendiri, entah apa yang dirasa suami. Hati tak kuat berpisah lama, akhirnya saya beranikan diri minta pulang ke Bekasi untuk berkumpul kembali dengan suami.

Di kehamilan kedua, saya kembali berjauhan dengan suami. Kali ini pertimbangannya adalah, si sulung masih sangat kecil (maklum... kesundulan :D), padahal kami tak punya pembantu. Karena sudah diputuskan masak-masak, kali itu saya benar-benar menjalani RTJJ, setidaknya untuk 6 bulan ke depan (dari kehamilan 6 bulan hingga bayi 2 bulan). Selama itu banyak masalah yang dihadapi, pengeluaran jadi hampir 2 lipat (karena harus 'membiayai' dua rumah, meski saya banyak dibantu kakak di sana), pengeluaran juga bertambah karena suami jadi sering bolak-balik bekasi-semarang, rentan miskomunikasi (masih teringat beberapa kasus yang terjadi saat itu, antara kami berdua, dan antara kami dan ortu), dan yang terpenting adalah ketidakoptimalan peran sebagai suami/istri dan pengaturan rumahtangga.

Sejak saat itu saya bertekad, tak akan mau hidup berjauhan dengan suami. Susah senang akan dijalani bersama, karena itu sudah konsekuensi dari sebuah rumahtangga, bukan???

Beberapa tahun kemudian, saya 'bertemu' kembali dengan teman lama di fesbuk. Dia sedang galau karena rumahtangganya terancam bubar akibat kehadiran WIL. Usut punya usut, selama ini dia menjalani RTJJ karena tak mungkin meninggalkan pekerjaannya untuk mendampingi sang suami yang pindah tugas ke kota lain. Kasihan...saya tak bisa membayangkan seperti apa kecewa dan marahnya ketika mengetahui suaminya berselingkuh (hingga berzina!).

Entah karena kebetulan, tak lama berselang, ketika mertua sedang bertandang ke rumah kami sempat curhat-curhatan (ciee...mesra kali hubungan saya dengan ibu mertua ini ;) ). Ternyata, pangkal ketidakharmonisan hubungan pasutri salah seorang saudara beliau adalah...RTJJ juga. Sang istri enggan mengikuti suaminya yang pindah tugas, dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Meski sering 'ditakut-takuti' dengan isu perselingkuhan oleh sanak saudaranya, sang istri "keukeuh" bin haqul yaqin bahwa suaminya adalah lelaki lugu nan setia. Akhirnya, malang tak dapat ditolak... suami terpikat wanita lain dan sempat hampir menikah. Meski akhirnya mereka bersatu kembali, toh luka yang menganga itu sudah tak terobati lagi hingga kini.

Banyak juga kisah sedih seputar RTJJ yng tak bisa saya paparkan di sini. Bukan... meski saya tidak setuju dengan pilihan menjalani RTJJ ini, bukan berarti saya menakut-nakuti pelaku RTJJ, dan men-generalisir semua RTJJ pasti berakhir buruk. Namun marilah kita renungkan kembali hal di bawah ini :*Sebenarnya, apa tujuan kita menikah?

  Jika tujuan menikah adalah untuk beribadah, bisakah suami-istri mengoptimalkan peran dan kewajiban mereka     jika hidup berjauhan? suami punya kewajiban terhadap istri dan anaknya, dan itu bukan sekedar masalah            materi. Begitupun sebaliknya.

  Jika tujuan menikah adalah untuk mendapatkan ketenangan (sakinah), apakah ketenangan itu akan terwujud
  dengan hidup berjauhan?
  bukankah dengan hidup berjauhan, godaan dari luar akan lebih berat dirasakan?
  bagaimana dengan 'kebutuhan' suami? dengan apa ia memenuhinya jika sang istri 'tempatnya bercocok tanam'
  tiada di sisi? Lalu bagaimana dengan hati sang istri? bukankah wanita adalah mahluk yang perasa? kemana dia
  tumpahkan isi hati dan cucuran air mata ketika persoalan hidup mendera? di bahu siapa akan dia sandarkan
  kepalanya?

  Jika sudah begitu...jangan salahkan suami menikah lagi, atau yang parah adalah jika suami berselingkuh bahkan sampai berzina (!), selugu-lugunya laki-laki... dia tetaplah manusia biasa, yang jika tak dijaga maka hatinya akan bisa berpindah ke lain wanita. begitu juga sebaliknya... na'udzubillahi min dzalik.

  Pasti ingat dong...jargon 'bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh'??? ya, segala masalah yang mendera dalam rumahtangga akan jauh lebih mudah dihadapi dengan kebersamaan suami-istri. Yang selalu bersama saja belum tentu harmonis, apalagi yang tinggal berjauhan???

Plizz deh... para istri jangan lagi memakai dalih pekerjaan. Sesuatu yang mubah tak bisa mengalahkan yang wajib (bekerja bagi wanita = mubah, melayani suami = wajib). Yakinlah, jika kita meninggalkan sesuatu untuk mencari ridho Alloh (dengan berusaha melayani suami dan menjalankan peran sebagai istri dengan optimal), maka Alloh akan memudahkan segala urusan kita.

Jika alasannya adalah karena kasihan pada orangtua yang sudah sepuh dan tinggal sendiri, kenapa tidak orangtuanya yang diboyong bersama keluarga kecil kita? InsyaAlloh, masih banyak jalan keluar daripada harus berjauhan dengan suami/istri. Bukankah ketaatan seorang istri (pada manusia) yang pertama adalah pada suami???

Kuncinya adalah : yakinlah pada Alloh... apapun aturan y datang dari_Nya, maka itulah yang tepat bagi hidup kita.

Semoga Alloh mudahkan setiap langkah kita untuk memperbaiki urusan rumahtangga kita...aamiin

Wallahu a'lam bi showwab

3 komentar:

  1. Sekedar share ya mbak..keadaan RT saya justru kebalikanny, lbh sering "berjauhan" drpd dekatnya. Hampir 8 th menikah tp hanya serumah dg suami sktr 1.5 th saja. Penyebabnya karena pekerjaan suami diluar kota, setelah pindah kerja mendapati kenyataaan kakak suami meninggal dunia (belum menikah n sebelumnya tinggal sama mama mertua yang janda), lalu suami tinggal sama mamanya yang terang2an tidak menyukai saya tidak mau serumah dengan menantu (beliau bilang beda suku jadi tidak baik tinggal serumah).
    Sesungguhnya rumah kami dan mama mertua hanya brjarak 23-25 km tp dengan kondisi jalan yg macet tidak memungkinkan bertemu suami..jadilah saya dan 2 anak kami hanya ktemu sang kepala keluarga disaat wiken (malam minggu - minggu sore)

    BalasHapus
  2. hmm... sabar ya, mbak. pasti sedih deh, punya mertua y ga suka sama kita :(
    jangan putus2 berdo'a semoga Alloh bukakan hati beliau, Sesungguhnya hanya Alloh saja y mampu membolak-balikkan hatii manusia. salam kenal ^^

    BalasHapus
  3. ada yg sukses walopun hrs berjauhan. Tp kl sy termasuk yg gak sanggup berjauhan :)

    BalasHapus