Jumat, 05 Februari 2016

Ifah & Televisi

Ifah dan Televisi
(Oleh : tsaqifa azka mufida dan umminya)

“Aah... Aku nggak mau sholat. Lagi seru nih filmnya.” Rajuk Ifah, Umi geleng-geleng kepala melihat tingkah anak bungsunya itu.

“Ifah, nanti kan bisa dilanjutkan menontonnya.” Bujuk Umi,

Ifah semakin erat memeluk bonekanya, Ia enggan beranjak dari sofa di depan televisi. Akhirnya Umi meninggalkan Ifah dengan kesal.

Mas Arfan keluar dari kamarnya sambil menenteng sebungkus coklat, Ia mencolek bahu Ifah.

“Dik, mau coklat tidak?” Tawarnya,

Mendengar kata coklat, Ifah langsung mendongak ke arah Mas Arfan,

“Mau...mau!” Teriaknya kegirangan, tangannya menggapai bungkusan coklat yang dipegang kakaknya itu.

Mas Arfan menarik bungkusan itu, “Eits... Sholat dulu, dong!”

Ifah langsung manyun kembali, “Iih...sebal.”

Namun demi sebungkus coklat, akhirnya Ifah bangun juga. Ia menuju kamar mandi dengan berlari agar tidak kelamaan meninggalkan film kartun kesayangannya.

Belum lima menit, Ifah sudah kembali duduk di depan televisi sambil memegang coklat yang diletakkan Mas Arfan di atas meja.

“Haa? Kamu sudah sholat, Dik?” Tanya Mas Arfan keheranan,

Ifah mengangguk mantap, matanya tak berpaling dari televisi.

Mas Arfan mendekati adiknya itu,

“Kamu sholat Ashar berapa rakaat? Dua?” Tanyanya setengah tertawa,

“Iih... ya nggak dong! Sholat Ashar kan empat rakaat.” Sahut Ifah sewot, dia merasa kesenangannya diganggu.

“Kenapa cepat sekali? Pasti kamu terburu-buru, ya?” Tuduh Mas Arfan,

Belum sempat Ifah menjawab, kakaknya langsung merebut coklat yang hendak dia gigit. “Sholat lagi sana! Sudah kelas tiga kok sholatnya masih main-main?”,

Ifah mendelik, “Aku sudah sholat, Mas! Kembalikan coklatku!”

Ini bukan pertama kalinya Ifah lalai gara-gara televisi. Bukan hanya lalai sholat, kemarin dia lupa mengerjakan pe-er karena asyik menonton televisi. Sebelumnya malah terlambat masuk sekolah karena terkesima dengan sosok Putri Sofia di sebuah film kartun anak-anak.

Umi jadi sering marah-marah, jika sudah kehabisan kata-kata akhirnya Beliau memilih diam dan meninggalkan Ifah. Biasanya Ifah paling takut sama Abi, namun sudah sebulan ini Abi ada proyek pengerjaan jembatan di luar pulau sehingga tidak bisa mengawasinya.

Siang itu, sepulang sekolah Ifah nampak lesu. Sesampainya di rumah dia lemparkan tas dan sepatunya begiu saja. Umi yang menyambutnya di depan pintu jadi heran.

“Ada apa, anak sholihah? Kenapa cemberut begitu?” Tanya Umi,

Ifah terduduk di lantai, “Ifah kesal, Ifah tidak bisa mengerjakan ulangan IPA. Padahal seharusnya itu soal yang mudah.”

Umi menatap heran, “Lho, Ifah ada ulangan? Biasanya cerita sama Umi setiap ada ulangan. “

“He-eh, Ifah lupa. Kemarin keasyikan nonton kartun, Umi...” Sahut Ifah tertunduk. Dia merasa bersalah.

Umi memegang bahu Ifah, “Nah, sekarang Ifah tahu apa kesalahan Ifah?” Tanya Beliau,
Ifah mengangguk ragu,

“Ifah jadi malas belajar, malas sholat, sering terlambat ke sekolah. Kenapa kira-kira?” Tanya Umi lagi,

Ifah mengernyitkan dahi, tampaknya dia sedang meyakinkan diri akan kesalahannya.

“Gara-gara nonton televisi?” Tanyanya ragu.

Umi mengelus kepala Ifah dengan sayang, “Nak, boleh-boleh saja menonton televisi. Namun harus tahu waktu. Kalau sudah terdengar adzan, matikan dulu televisinya lalu sholatlah. Bukankah dulu Umi sudah mengajari Ifah cara membuat jadwal? Di sana sudah jelas kapan waktunya nonton televisi, kapan waktunya belajar, mandi, makan, dan istirahat.” Tutur Umi,

“Jadwalnya sudah hilang, Umi. Terbuang...” Ifah semakin menunduk, dia merasa bersalah.

“Sekarang bereskan dulu sepatu dan tasmu, lalu ganti pakaian. Setelah sholat Dzhuhur dan makan siang, Umi bantu membuat jadwal harian yang baru. Sebagai hukuman, hari ini Ifah tidak boleh menonton televisi dulu.” Perintah Umi tegas,

Sebenarnya Ifah hendak protes, namun tidak jadi setelah dia mengingat betapa banyak hal yang terbengkalai gara-gara televisi. Gara-gara televisi juga dia telah mengecewakan Umi dan membuat kesal Mas Arfan.

“Baiklah, Umi. Ifah janji akan mengurangi menonton televisi. Maafin Ifah selama ini ya, Mi.” Diraihnya tangan Umi dan diciuminya penuh hormat.

Sejak saat itu, Ifah berusaha mengatur waktunya dengan baik. Dia tidak lagi menghabiskan waktunya untuk menonton televisi .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar