Senin, 01 Juni 2015

Setiap Kehamilan dan Persalinan Adalah Istimewa



Untuk keempat kalinya Allah menganugerahi kehamilan padaku. InsyaaAllah tak lama lagi aku pun akan mengalami persalinan keempat. Apa yang kurasakan dan kualami? Ternyata setiap prosesnya punya keistimewaan masing-masing, ada ceritanya masing-masing. Menurut orang, hamil dan melahirkan yang pertama itu selalu lebih berat dari yang selanjutnya, semakin berbilang jumlahnya semakin mudah. Tapi ternyata tidak selamanya begitu.

Ketika hamil anak pertama, o...oh ternyata begini rasanya mengandung janin. Mual-muntah saat trimester pertama, makan tak enak... mau ngapa-ngapain juga tak nyaman. Mupeng makan bakso yang lewat depan rumah, setelah enak-enak makan ehhhh....muntah. Ketika sedang terbaring di tempat tidur dengan tangan sibuk menutupi hidung dari serbuan bau goreng-gorengan, tercetuslah dari bibirku, "Ternyata, hamil itu a beautifull pain, ya...".

Persalinan pertama pun punya cerita tersendiri. Karena selama hamil aku hobi membaca berbagai buku dan majalah seputar itu, seperti Nakita dan Ayah-Bunda (gpp sebut merk, ya... siapa tahu redaksinya ada yang nyasar ke mari, hehehe), jadi sedikit banyak tahu informasi ciri-ciri 'sudah waktunya melahirkan'. Berbeda dengan para ibu yang biasanya melahirkan diawali dengan kontraksi, waktu menjelang persalinanku diawali dengan 'ngompol' menjelang adzan Subuh. Yaaa... pecah ketuban sehingga mengeluarkan cairan seperti air seni namun baunya amis dan kalau dipegang juga beda teksturnya.

Sesampainya di Rumah Bersalin, bidan menyuruhku tiduran. "Haa? Kok tiduran, Bu? Bukannya biar lancar harus banyak jalan-jalan?" Tanya suamiku polos. "Yee, Bapak ini. Kalau jalan-jalan nanti air ketubannya keluar terus... habis nanti. Kalau nggak pecah ketuban mah saya suruh istri Bapak jalan-jalan sekaligus ngepel ruangan di sini, atuh!" Kurang lebih seperti itulah bantahan bu bidan. Aku cengar-cengir mendengarnya.

Tak lama setelah berbaring, barulah aku merasakan dahsyatnya kontraksi. Innalillahi... sakitnya bukan kepalang. Miring kanan, miring kiri, melungker... perut serasa diperas. Jauh lebih sakit dari mules gegara kebanyakan makan cabe. Mana pake acara si jabang bayi tertidur pulas lagi... sehingga aku harus dipasangi tabung oksigen untuk menjaga agar denyut jantungnya stabil (entahlah... aku tak terlalu faham. Yang aku tahu, perutku sakiiitt...). Tapi Alhamdulillah, pangeranku bersabar menemani sambil mengelus-elus punggungku. Mama-Papa juga menguatkanku dari jauh melalui telepon (bukan dengan telepati lho ya...), sedangkan mertua sedang OTW ke Rumah Bersalin.

Hampir 12 jam -batas waktu toleransi kelahiran setelah pecah ketuban- berlalu, bu dokter yang cuantiknya kayak artis itu sudah wanti-wanti untuk operasi jika lewat waktunya sang bayi belum nongol juga. Allahu Akbar, bayi yang kami nantikan berhasil keluar dengan sehat dan selamat.

Nah... itu cerita pertama. Sekarang giliran yang kedua...

Ceritanya, kehamilan kedua ini sungguh tak disangka-sangka oleh kami. Karena saat itu sedang fokus dengan si sulung yang memang kami nantikan selama 4 tahun pernikahan. Terus terang awalnya sempat syok juga, kasian si sulung yang baru berusia 6 bulan... khawatir tidak penuh mendapatkan kasih sayang, pikir kami. 

Dan saat itulah Allah benar-benar menguji kami. Ketika pemeriksaan USG, dokter mendiagnosa janin mengalami 'blighted ovum' (janinnya tidak berkembang). Namun dokter yang cuantik banget kayak artis itu meminta kami menunggu perkembangannya hingga bulan depan sebelum memutuskan untuk kuretase. Selama itu aku minum vitamin penguat kandungan. Pesan dokter, jika sampe mengeluarkan darah, itu artinya keguguran dan harus dikuret.

Selama masa penantian itu aku dihantui kecemasan. Bayangan akan dikuret menghantuiku. Konon katanya jauh lebih sakit daripada melahirkan, dan... taruhan nyawa juga. Sampai-sampai aku pernah menuliskan beberapa kata-kata wasiat di note HP-ku, jika ternyata benar aku meninggal karena hal ini. Di saat itu aku tersadar, aku kurang ikhlas menjalani kehamilan ini. Astaghfirullah... akupun mohon ampun dari Allah.

Alhamdulillah, setelah sebulan berlalu dokter menyatakan kehamilanku sehat, janinku berkembang dengan baik. Selama kehamilan kedua ini aku tak terlalu mengalami mual-muntah, sehat-sehat saja. Janin pun tak 'rewel' sehingga tetap bisa diajak mengurus rumah dan kakaknya. Barangkali karena jarak kehamilan yang tak jauh, jadi tubuh mudah beradaptasi dengan perubahan hormon. Sekali lagi... barangkali.

Kelahiran bayi keduaku ini cukup memakan waktu, tenaga, biaya, dan korban perasaan juga. Karena saat itu kami memutuskan melahirkan di tengah-tengah keluarga besarku, meninggalkan suami tercinta. Saat itu aku cukup kerepotan karena si sulung sudah mulai belajar berjalan dan kami tak punya pembantu.

Di kota itulah aku bertemu bu bidan sholihah yang menyenangkan, Bu bidan Siti Nurbaya. Semoga Allah membalas segala kebaikannya..... hiks, terharu.

Cerita persalinan keduaku penuh rekayasa, hihihi... alias direncanakan karena Babehnya bayi harus sudah kembali ke Jakarta untuk urusan pekerjaan hari Ahad. Akhirnya Bu Bidan mengabulkan permintaan kami untuk melakukan induksi, toh sang janin memang sudah 'matang kata Beliau. Waktu itu hanya beda 2-3 hari dari HPL.

Metode induksi yang digunakan adalah melalui tablet yang harus diletakkan di bawah lidah selama beberapa jam. Menurut perhitungan Bu Bidan, jika dimulai pukul 9 pagi maka reaksi baru akan terjadi pada pukul lima sore, saat Beliau sudah pulang dinas. Namun Qodarullah..., baru pukul sebelas reaksi pun terjadi. Aku mengalami pendarahan, namun ketika konsul via telepon menurut Beliau masih dalam skala wajar. Lalu setengah jam kemudian mulai terjadi kontraksi, hingga jam 12 akupun tak  tahan. Kami memaksa untuk menunggu di rumah bu bidan, dan Beliau mengizinkan. Saat itu aku ditemani Mama, suami, dan Budhe yang seorang pensiunan bidan.

Subhanallah... kalau tahu rasa sakit persalinan yang diinduksi, aku  tak akan pernah mau mengalaminya kecuali terpaksa. Jeda kontraksi berlangsung lebih cepat dan sakitnya dua kali lipat. Keluhan sempat terlontar dari bibirku, namun Bu Bidan menenangkanku. Entah pada pembukaan ke berapa ketubanku baru pecah.

Sekitar pukul 3 sore bayi  mungil nan cantik pun lahir ke dunia. Sirna rasa sakitku memandangnya... MasyaaAllah.

Bagaimana dengan yang ketiga? aha... ikuti kelanjutannya nanti ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar