Kamis, 18 Desember 2014

Seorang Anak Dan Ayah PNS



Lelaki senja itu hanya terdiam melihat anak perempuannya mempermasalahkan kehadiran lampu hias di ruang tamu. Barangkali Ia menyadari sang anak baru saja beranjak dewasa dan masih unyu dalam mengkaji Islam, sehingga berlebihan dalam menyikapi hidup. Dan kali ini yang dipersoalkan adalah ‘hidup sederhana’, anaknya menuduh pembelian lampu itu hanya bentuk pemborosan...ehm, bahkan sebenarnya inti yang dipersoalkan anaknya adalah status PNS yang disandang sang ayah sebagai pekerjaan ‘abu-abu’ yang dekat dengan uang haram.

Seiring berjalannya waktu, bertambah pula pemahaman sang anak bahwa PNS bukanlah status yang terlarang dalam Islam, menjadi PNS bukanlah jarimah, namun hanyalah sebuah jalan menggapai rizki. Yah...meskipun ada oknum-oknum yang berbuat KKN namun tak adil jika digeneralisir. 

Dia berusaha mengulas kembali perjalanan hidup ayahanda tercinta sebagai seorang PNS. Sang ayah adalah pekerja yang jujur dan berdedikasi tinggi. Sebagai atasan beliau disukai karena sikap tak berjarak-nya, sebagai bawahan Beliau disayangi karena kinerjanya.

Namun begitulah, tak selamanya orang baik disenangi. Pernah Beliau difitnah teman dekatnya, hingga akhirnya dimutasi ke tempat lain dan tidak digaji selama beberapa bulan. Bagaimana dengan anak-istrinya? Mereka makan dari uang tabungan dan hasil penjualan mobil pribadi. Dan Alhamdulillah, setelah bertahun-tahun Allah membuka mata semuanya tentang siapa pelaku kejahatan yang sebenarnya dan nama baik sang ayah dipulihkan. Tentang gaji yang tak dibayarkan? Entahlah...sang anak tak pernah bertanya masalah itu pada Ibunya, toh Allah tetap memberi kecukupan rizki selama masa fitnah itu.

Di akhir karirnya sang ayah dipindah ke ibukota sebagai kepala seksi (alias kepala bagian). Di tempat ini ujian dan godaan banyak bersliweran menyapa Sang Ayah dan Ibu. Mulai dari rumah yang awalnya masih mengontrak karena Beliau menyadari keberadaan di ibukota hanya sementara, toh Beliau sudah punya rumah di kampung halaman. Mobil pribadi yang tak semewah mobil karyawannya (asal tahu aja, mobil Sang Ayah hanya carry super sementara karyawannya punya mobil sedan sport mewah). Lalu teman sejawat Sang Ayah banyak yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri sementara anak-anak beliau ‘hanya’ kuliah di dalam negeri.

Belum lagi penampilan Ibu yang sederhana karena tak hobi ‘nyalon’ sehingga seorang kurir pernah menyangka Beliau adalah PRT (duh...). Tapi Ibu tetap pede, ikut pertemuan dharma wanita meski tak menenteng tas bermerk dan perhiasan mewah.

Ujian bagi keduanya juga datang tatkala anak lelakinya lulus kuliah. Di saat suatu ‘kewajaran’ jika Sang Ayah yang punya kedudukan menitipkan anaknya di kantor atau perusahaan relasi, Beliau tak sedikitpun melakukannya. Beliau mempersilahkan anak-anaknya mencari jalan rizkinya sendiri dengan jujur dan halal.

Ketika untuk ketiga kalinya Sang Ayah dan Ibu menunaikan ibadah haji. Pandangan miringpun ada yang menyapa. Tak tahulah mereka, dana itu adalah hasil penjualan tanah warisan hak Ibu serta tanah yang Beliau beli dari uang tabungan bertahun-tahun hasil keringat yang jujur.

Di awal masa pensiun Sang Ayah, datanglah tawaran untuk menjadi konsultan, namun Beliau menolak meski bayangan kucuran rupiah menggiurkan. Karena Beliau tahu di situ ladang ‘permainan’ dan enggan terjerumus.

Ah, Ayah... Air mata Sang Anak menetes kembali. Mengingat dosa-dosa pada SAng Ayah, setumpuk su’udzon tanpa sedikitpun sempat meminta maaf sebelum ajal menjemput lelaki senja itu. Dia berharap do’a-do’anya mampu melebur rasa bersalah. Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa’fu ‘anhu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar