Juny
hanya bisa menelan air liurnya saat memandang bangunan Coffee Bento di ujung
Stasiun Gambir, masih terasa segarnya segelas jus terong belanda yang Ayah
belikan setiap kali mereka baru menempuh perjalanan kereta dari Semarang. Namun kini semua itu tinggal kenangan, sejak
usaha ayahnya bangkrut setahun yang lalu, beliau tak mampu lagi menraktirnya
minum jus di tempat itu.
Tangannya
merogoh tas pinggang lusuhnya, dihitungnya dengan teliti lembaran-lembaran
rupiah yang telah dikumpulkan dari hasil mengamen hari ini. “Ah... hanya lima belas ribu tujuh
ratus rupiah. Bisa habis uangku nanti.” Keluhnya sambil tetap memandangi
bangunan coffee. Tiba-tiba Lastri mendekat, “Hey, jangan ngelamun aja. Kalau
kamu pengen minum di situ, aku bisa menraktirmu.” Sapanya sambil menepuk-nepuk
kantong bajunya yang terlihat tebal.
Juny
beringsut dari emperan coffee, dia memandang Lastri dengan curiga. “Kamu
nyopet?” Tanyanya ketus pada teman yang baru dikenalnya dua hari yang lalu. Lastri
tertawa terbahak-bahak, “Hahaha..., bodoh kamu! Tadi banyak yang minta
disemirin sepatunya. Ada yang kasih uang lebih. Percaya deh sama aku.” Termakan
omongan Lastri, akhirnya Juny mau saja diajak masuk coffee.
Tak
ayal lagi, semua mata pengunjung coffee memandangi kedua tukang semir cilik
itu. Namun Lastri sangat percaya diri, ditariknya Juny menuju salah satu meja
paling ujung. Dengan ragu pelayan menghampiri mereka, “Mau pesan apa, Dik?” Lastri
menoleh pada Juny, “Kamu mau apa?” Tanpa ragu lagi Juny menunjuk tulisan ‘jus
terong belanda’ di daftar menu.
Tak perlu
menunggu lama, dua gelas jus terong belada tersaji di depan kedua bocah ingusan
itu. Mereka langsung larut dalam kesegaran jus, tanpa berkata-kata, hanya suara
‘slurrpp...’ yang keluar dari mulut mereka.
Seketika licin
tandaslah kedua minuman itu. Lastri melambaikan tangan pada pelayan untuk
meminta nota pembayaran. Ketika nota itu telah sampai di tangannya,
matanya terbelalak. Namun dia segera
tersenyum. “Juny, aku ke toilet dulu. Kamu tunggu di sini saja.”Ujarnya pada
Juny, dengan lugu Juny mengangguk.
Lima menit,
setengah jam berlalu, Lastri belum nampak juga. Dada Juny berdegup kencang, dia
gelisah menanti Lastri. Tiba-tiba kepala pelayan menghampirinya, “Tunggu apa
lagi? Ayo bayar!”Bentaknya, Juny gemetar saat membaca nota itu “Tiga puluh enam
ribu...”Desisnya. Tanpa ba-bi-bu, kepala pelayan menyeretnya keluar,
orang-orang mencemoohnya, Juny pun
terkulai lemas dan terjatuh di pelataran coffee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar