Kamis, 02 Mei 2013

Terjebak


                Juny hanya bisa menelan air liurnya saat memandang bangunan Coffee Bento di ujung Stasiun Gambir, masih terasa segarnya segelas jus terong belanda yang Ayah belikan setiap kali mereka baru menempuh perjalanan kereta dari Semarang.  Namun kini semua itu tinggal kenangan, sejak usaha ayahnya bangkrut setahun yang lalu, beliau tak mampu lagi menraktirnya minum jus di tempat itu.
                Tangannya merogoh tas pinggang lusuhnya, dihitungnya dengan teliti lembaran-lembaran rupiah yang telah dikumpulkan dari hasil mengamen hari ini. “Ah... hanya lima belas ribu tujuh ratus rupiah. Bisa habis uangku nanti.” Keluhnya sambil tetap memandangi bangunan coffee. Tiba-tiba Lastri mendekat, “Hey, jangan ngelamun aja. Kalau kamu pengen minum di situ, aku bisa menraktirmu.” Sapanya sambil menepuk-nepuk kantong bajunya yang terlihat tebal.
                Juny beringsut dari emperan coffee, dia memandang Lastri dengan curiga. “Kamu nyopet?” Tanyanya ketus pada teman yang baru dikenalnya dua hari yang lalu. Lastri tertawa terbahak-bahak, “Hahaha..., bodoh kamu! Tadi banyak yang minta disemirin sepatunya. Ada yang kasih uang lebih. Percaya deh sama aku.” Termakan omongan Lastri, akhirnya Juny mau saja diajak masuk coffee.
                Tak ayal lagi, semua mata pengunjung coffee memandangi kedua tukang semir cilik itu. Namun Lastri sangat percaya diri, ditariknya Juny menuju salah satu meja paling ujung. Dengan ragu pelayan menghampiri mereka, “Mau pesan apa, Dik?” Lastri menoleh pada Juny, “Kamu mau apa?” Tanpa ragu lagi Juny menunjuk tulisan ‘jus terong belanda’ di daftar menu.
Tak perlu menunggu lama, dua gelas jus terong belada tersaji di depan kedua bocah ingusan itu. Mereka langsung larut dalam kesegaran jus, tanpa berkata-kata, hanya suara ‘slurrpp...’ yang keluar dari mulut mereka.
Seketika licin tandaslah kedua minuman itu. Lastri melambaikan tangan pada pelayan untuk meminta nota pembayaran. Ketika nota itu telah sampai di tangannya, matanya  terbelalak. Namun dia segera tersenyum. “Juny, aku ke toilet dulu. Kamu tunggu di sini saja.”Ujarnya pada Juny, dengan lugu Juny mengangguk.
Lima menit, setengah jam berlalu, Lastri belum nampak juga. Dada Juny berdegup kencang, dia gelisah menanti Lastri. Tiba-tiba kepala pelayan menghampirinya, “Tunggu apa lagi? Ayo bayar!”Bentaknya, Juny gemetar saat membaca nota itu “Tiga puluh enam ribu...”Desisnya. Tanpa ba-bi-bu, kepala pelayan menyeretnya keluar, orang-orang mencemoohnya,  Juny pun terkulai lemas dan terjatuh di pelataran coffee.

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar